1. Mildred Parten (1932)
a. Unoccupied Play
Anak tidak benar-benar terlibat dalam kegiatan bermain, anak hanya mengamati kejadian di sekitarnya yang menarik perhatian anak. Apabila tidak ada hal yang menarik, maka anak akan menyibukkan dirinya sendiri. Contohnya anak akan naik turun kursi tanpa tujuan yang jelas.
b. Solitary Play (Bermain Sendiri)
Biasanya tampak pada anak yang berusia amat muda. Anak akan sibuk bermain sendiri dan tidak memperhatikan kehadiran anak-anak lain di sekitarnya. Kehadiran anak lain dapat dirasakannya apabila anak tersebut mengambil alat permainannya.
c. Onlooker Play (Pengamat)
Kegiatan bermain dengan mengamati anak-anak lain melakukan kegiatan bermain, dan tampak adanya minat yang semakin besar terhadap kegiatan anak lain yang diamatinya. Contohnya anak yang belum kenal dengan anak lain di suatu lingkungan baru.
d. Paralel Play (Bermain Paralel)
Tampak saat dua anak atau lebih bermain dengan jenis alat permainan yang sama dan melakukan gerakan atau kegiatan yang sama, tetapi sebenarnya tidak ada interaksi diantara mereka. Contohnya anak – anak yang sedang bermain mobil-mobilan, dan membuat bangunan dari alat permainan Lego tanpa berinteraksi. Pada dasarnya mereka masih amat egosentris dan belum mampu memahami atau berbagi rasa dengan anak lain.
e. Assosiative Play (Bermain Asosiatif)
Adanya interaksi antar anak yang bermain, saling tukar alat permainan, tetapi bila diamati sebenarnya mereka tidak terlibat dalam kerja sama. Misalnya anak sedang menggambar, mereka saling memberi komentar terhadap gambar masing-masing, berbagi pensil berwarna, ada interaksi diantara mereka, namun sebenarnya kegiatan menggambar itu mereka lakukan sendiri-sendiri.
f. Cooperative Play (Bermain Bersama)
Ditandai dengan adanya kerja sama atau pembagian tugas dan pembagian peran antara anak-anak yang lebih dalam permainan untuk mencapai satu tujuan tertentu. Misalnya, bermain dokter-dokteran, membuat bangunan dari balok secara kerja sama. Biasanya tampak pada anak berusia 5 tahun. Orang tua yang memberikan kesempatan pada anaknya agar bergaul dengan sesama teman maka perkembangannya akan meningkat, berbeda dengan orang tua yang tidak memberikan kesempatan bagi anak-anaknya untuk bergaul dengan anak lain, maka mungkin saja Cooperative play tidak terlaksana.
2. Jean Piaget (1962)
a. Sensory Motor Play (± ¾ bulan 1/2 tahun)
Bermain dimulai pada periode perkembangan kognitif sensori motor, sebelum usia 3-4 bulan, gerakan atau kegiatan anak belum dapat dikategorikan sebagai bermain. Kegiatan bayi hanya merupakan pengulangan dari hal-hal yang dilakukan sebelumnya, dan Piaget menamakannya reproductive assimilation. Pada usia 7-11 bulan kegiatan yang dilakukan anak bukan semata-mata berupa pengulangan, namun sudah disertai dengan variasi. Misalnya anak melihat wajah di balik bantal yan g disingkapkan, anak melakukan terus dengan berbagai variasinya. Pada usia 18 bulan tampak adanya percobaan-percobaan aktif pada kegiatan bermain anak. Contohnya anak yang bermain dengan kaleng bekas dan sepotong kayu, secara tidak sengaja memukul kaleng dari sisi yang berbeda. Ternyata menimbulkan suara berbeda, sehingga dari pengalaman ini ia mendapat pengetahuan baru.
b. Symbolic atau Make Belive Play (±2-7 tahun)
Symbolic atau Make Belive Play merupakan ciri periode pra operasional yang terjadi antara usia 2-7 tahun yang ditandai dengan bermain khayal dan bermain pura-pura. Misalnya menggunakan sapu sebagai kuda-kudaan, menganggap sobekan kertas sebagai uang. Bermain simbolik juga berfungsi untuk mengasimilasikan dan mengkonsilidasikan (menggabungkan) pengalaman emosional anak.
c. Social Play Games with Rules (±8 tahun-11 tahun)
Dalam bermain tahap yang tertinggi, penggunaan simbol lebih banyak diwarnai oleh nalar, logika yang bersifat obyektif, sejak usia 8-11 tahun anak lebih banyak terlibat dalam kegiatan games with rulers. Kegiatan anak lebih banyak dikendalikan oleh aturan permainan.
d. Games With Rules & Sports (11 tahun keatas)
Olah raga adalah kegiatan bermain yang menyenangkan dan dinikmati anak-anak, walaupun aturannya jauh lebih ketat dan diberlakukan secara kaku dibandingkan dengan permainan yang tergolong games seperti kartu. Karena bukan hanya rasa senang saja yang menjadi tujuan, tetapi ada suatu hasil akhir tertentu seperti ingin menang, memperoleh hasil kerja yang baik.
3. Hurlock (1981)
a. Tahap Penjelajahan (Exploartory stage)
Ciri khasnya adalah berupa kegiatan mengenai obyek atau orang lain, mencoba menjangkau atau meraih benda disekelilingnya lalu mengamatinya.
b. Tahap Mainan (Toy Stage)
Tahap ini mancapai puncaknya pada usia 5-6 tahun. Antara usia 2-3 tahun anak biasanya hanya mengamati alat permainannya. Mereka pikir benda mainannya dapat makan, berbicara, merasa sakit dan sebagainya. Contohnya yaitu bermain dengan boneka dan mengajaknya bercakap atau bermain seperti layaknya teman bermainnya.
c. Tahap Bermain (Play Stage)
Biasanya terjadi bersamaan dengan mulai masuknya anak ke sekolah Dasar. Pada masa ini jenis permainan anak semakin bertambah banyak, karena itu tahap ini dinamakan tahap bermain. Anak bermain dengan alat permainan yang lama kelamaan berkembang menjadi games, olah raga, dan bentuk permainan lain yang dilakukan juga oleh orang dewasa.
d. Tahap Melamun (Daydream Stage)
Tahap ini diawali saat anak mendekati masa puber. Saat ini anak sudah mulai kurang berminat terhadap kegiatan bermain yang tadinya mereka sukai dan mulai banyak menghabiskan waktunya untuk melamun atau berkhayal. Biasanya lamunan atau khayalannya mengenai perlakuan kurang adil dari orang lain.
4. Rubin, Fein & Vandenberg (1983) dan Smilansky (1968)
a. Bermain Fungsionil (Functional Play)
Biasanya tampak pada anak berusia 1-2 tahunan berupa gerakan yang bersifat sederhana dan berulang-ulang. Misalnya anak berlari-lari sekeliling ruang tamu, mendorong dan menarik mobil-mobilan.
b. Bangun Membangun (Constructive Play)
Bermain membangun sudah dapat terlihat pada anak berusia 3-6 tahun. Dalam kegiatan bermain ini anak membentuk sesuatu, menciptakan bangunan tertentu dengan alat permainan yang tersedia. Misalnya membuat rumah-rumahan dengan balok kayu atau potongan Lego, menggambar dan sebagainya.
c. Bermain pura-pura (Make-believe Play)
Kegiatan bermain pura-pura mulai banyak dilakukan anak berusia 3-7 tahun. Anak melakukan peran imajinatif memainkan peran tokoh yang dikenalnya melalui film kartun atau dongeng. Misalnya bermain rumah-rumahan, polisi dan penjahat, jadi batman dan sebagainya.
d. Permainan Dengan Peraturan (Games with rules)
Kegiatan bermain jenis ini umumnya sudah dapat dilakukan anak pada usia 6-11 tahun. Anak sudah memahami dan bersedia mematuhi aturan permainan. Misalnya bermain kasti, galah asin atau gobak sodor, ular tangga dan semacamnya.
Jenis kegiatan bermain yang menjadi ciri khas masing-masing tahapan usia salah satunya yaitu Kathleen Stassen Berger (1983). Ia mengemukakan bahwa kegiatan bermain dapat dibedakan atas:
1. Sensory Motor Play (Bermain yang mengandalkan indera dan Gerakan-gerakan Tubuh)
Keasyikan yang diperoleh bayi melalui sensori motor play tampak misalnya saat is mengamati, mendengar suara di sekelilingnya, merasakan sesuatu dengan mulutnya. Contohnya keasyikan saat mereka mendengar suara air yang ditiup denga sedotan, tekstur yang mereka rasakan saat bermain dengan lilin.
2. Mastery Play (Berman Untuk Menguasai Keterampilan Tertentu)
Bermain untuk menguasai keterampilan tertentu karena kegiatan tersebut dapat merupakan latihan bagi anak untuk menguasai keterampilan-keterampilan yang baru baginya melalui pengulangan-pengulangan yang dilakukan anak. Mastery play pada anak semakin banyak mencakup permainan mengasah kecerdasan atau melibatkan kegiatan berfikir memecahkan masalah. Misalnya bermain tebak-tebakan, mengelompokkan benda dan sebagainya.
3. Rough and Tumble Play (Bermain Kasar)
Bentuk kegiatan bermain yang juga sering tampak pada anak ialah Rough and Tumble Play seperti bergelut, bergulingan, saling dorong. Kegiatan fisik aktif tersebut tampaknya diperlukan anak untuk mengimbangi kegiatan yang lebih menuntut anak untuk duduk di tempat, seperti kegiatan menggambar, menyusun potongan gambar dan sebagainya. Bentuk kegiatan bermain ini juga menunjang perkembangan sosial anak, karena permainan ini hanya dilakukan diantara teman-teman yang sudah cukup dikenal baik.
4. Social Play (Bermain Bersama)
Mulai tampak pada usia pra sekolah. Kegiatan bermain sosial ditandai dengan adanya interaksi dengan orang lain disekeliling anak, sehingga anak mampu terlibat dalam kerja sama dalam bermain. Misalnya pada usia muda bermain sepeda bersama, pada usia lebih lanjut anak mampu bermain kasti atau kelereng yang membutuhkan kerja sama dan kepatuhan tehadap aturan permainan.
5. Dramatic Play (Bermain peran atau khayal)
Dalam bermain peran atau khayal ini, misalnya anak tampak sedang menyuapi boneka, mengajak bicara dan bermain. Bermain dramatik semacam ini membantu mencobakan berbagai peran sosial yang diamatinya, memantapkan peran sesuai jenis kelaminnya, mewujudkan khayalannya, selain bekerja sama dan bergaul dengan anak-anak lainnya.
terimakasih referensinyaa :D
BalasHapusberguna buat mama saya yg mau tes UKG :)
thanks. informasinya. sangat membantu
BalasHapus